oleh: Penulis Misterius :D
Hari Rabu lalu, 13 Juli 2011, saya berkesempatan menyaksikan Tim Nasional (timnas) putri bertanding melawan tim putri pra-pon Jatim yang dihelat di DBL Arena Surabaya. Kebetulan, mereka sedang berkunjung ke Surabaya. Sebenarnya berita tentang kedatangan mereka sudah jauh hari saya dengar, dan sebagai penikmat basket tentu saya tak ingin melewatkan pertandingan ini.
Sekarang ini bisa dikatakan sangat mudah bagi kita mendapatkan informasi tentang timnas. Gencarnya pemberitaan, media sosial, menandai bangkitnya lagi basket di Indonesia. Liga-liga berjenjang mulai muncul beraturan, menasional, mulai dari liga pelajar dimana ada DBL dan Popmie Basketball, berlanjut ke jenjang mahasiswa ada Campus League yang mulai menyaingi Libama (dan pada akhirnya Libama pun –semoga- mulai berbenah), dan di tingkat profesional saat ini ada NBL yang mulai menggeliat.
Oke, kembali ke timnas putri tadi. Saya benar-benar sudah menunggu pertandingan yang berlangsung di sela-sela DBL seri Surabaya tengah digelar. Sempat terlintas di benak saya, pertandingan ini akan berjalan timpang, mengingat materi timnas yang jelas jauh di atas tim prapon jatim. Timnas pasti akan memberikan suguhan pertandingan menarik, dengan kualitas skill para punggawa timnas yang pasti adalah terbaik di Indonesia.
Tapi, sekali lagi, sebagai penikmat basket putri, saya cukup kecewa melihat pertandingan tersebut. Kuarter pertama berjalan 5 menit, skor masih 9-5 untuk keunggulan timnas. Dan di 5 menit kuarter pertama tersebut, saya sangat kaget melihat permainan timnas. Dimotori oleh sang kapten, Wulan, timnas bermain tanpa gereget sama sekali. Jauh di bawah bayangan saya, jauh sekali dengan gembar-gembor pemberitaan yang menyanjung timnas ini.
Sebenarnya sedikit kekecewaan sudah terlihat saat pemanasan. Sebagai sebuah tim yang bernama “tim nasional”, presentasi tembakan mereka saat pemanasan sungguh-sungguh buruk. Kalau kata orang awam, tembakan mereka tidak “blung-blung”. Tadinya saya sempat berpikir, masih pemanasan. Nanti pasti mereka akan menunjukkan keahlian yang sesungguhnya di pertandingan.
Dan ternyata, memang benar-benar mengecewakan. Dari sudut pandang statistik, turnover yang mereka bukukan di kuarter 1 saja ada 10 kali turnover (jujur, saya menghitung sendiri ini, tanpa software statistik, hanya menghitung menurut pandangan saya sebagai orang basket :D). Dan saya yakin, di akhir pertandingan, jika saya mau melanjutkan menghitung, pasti lebih dari 20 kali turnover!
Itu jika dilihat dari statistik. Jika dilihat secara kasat matapun, permainan individu, egois, tanpa pola, dan tanpa komunikasi sama sekali justru yang mereka perlihatkan kepada penonton sore itu. Bahkan kalau boleh sedikit ekstrim, komunikasi dalam arti sebenarnya, timnas bermain tanpa bicara sama sekali!
Aah, saya tiba-tiba kembali teringat ketika saya masih menjadi pemain basket. Rata-rata para pemain timnas putri saat ini, adalah mantan kawan dan lawan saya ketika dulu saya masih aktif. Saya sempat mencicipi bagaimana kerasnya persaingan tingkat Libama dulu (sebelum ada Campus League), dan sempat pula merasakan liga basket putri tertinggi Kobanita (sekarang sudah almarhum).
Saat itu, Wulan yang bermain di klub Mahaputri (dan juga bermain di Perbanas di level Libama), berduet dengan Novabella, menjadi kekuatan menakutkan. Bagaimana egoisnya Wulan, bagaimana ngototnya Wulan bermain, bagaimana dia begitu berani drive menusuk ke jantung pertahanan lawan. Saya ingat sekali, saat itu tim saya yang baru promosi ke Kobanita bertanding melawan Mahaputri. Di atas kertas, sudah terlihat bahwa kami akan kalah. Dan pelatih saya saat itu berkata, bahwa bisa saja Mahaputri akan menurunkan pemain-pemain cadangannya. Tapi saat pertandingan, ternyata Mahaputri tetap menurunkan tim intinya, dan tentu saja ada Wulan dan Novabella disana. Tanpa melihat siapa lawan yang dihadapinya, Wulan tetap saja bermain dashyat. Menerobos pertahanan lawan, meraup banyak poin, meletupkan hasrat sangat ingin menang.
Tapi apa yang saya lihat kemarin, sungguh bukan Wulan yang pernah saya tahu. Ya, dia sudah jauh menurunkan ego nya, sudah tidak lagi rakus poin, tapi saya sama sekali tidak melihat luapan semangat untuk menang dalam dirinya, seperti dulu.
Begitu juga anggota timnas lain. Jojo (Marjorice) saat saya kenal dia bermain di Ubaya, adalah motor serangan Ubaya. Bagaimana hasratnya untuk terus berlari ke tiap sudut lapangan, bagaimana beringas nya Jojo dalam merebut bola, bagaimana cerewetnya Jojo saat mengatur teman-temannya di tim Ubaya dan di tim PON Jatim 2004 lalu, sama sekali tidak terlihat. Begitu juga dengan Jacklyn, kemanakah power yang begitu kuat saat beraksi dalam key hole? Sama sekali tidak tampak.
Ranie, sang pemimpin Sritex Solo dan UNS, pun demikian halnya. Sebenarnya, dia baru bermain di kuarter 2. Dan saya tahu dia sedang cedera. Tadinya saya sempat berharap padanya untuk bisa turun bermain dan membawa perubahan pada permainan timnas dalam pertandingan ini. Minimal, saya ingin melihat adanya semangat untuk menang dari timnas dengan masuknya Ranie. Tapi sama saja, Ranie yang saya kenal di saat bermain di UNS dan di Sritex, ternyata berbeda dengan Ranie di timnas. Tanpa ada leadership, tanpa ada semangat, semuanya terlihat benar-benar datar. Mungkin, di mata saya, hanya Yunita yang masih terlihat seperti Yunita yang saya tahu. Masih mampu menggalang komunikasi dengan rekan setimnya, masih terlihat mau ngomong, dan masih terlihat ada semangat bermain.
Lainnya? Kemana Yuni, kemana Sinta, kemana Fanny, kemana Hanum? Kemana semangat mereka dalam bermain basket? Kemana gairah mereka menikmati basket? Entahlah.
Justru hal sebaliknya tampak pada permainan tim Jatim. Saat banyak orang meragukan bagaimana Jatim akan bisa lolos ke PON kelak, ketika pemain-pemain terbaiknya pindah ke daerah lain, ketika tim ini “hanya” diperkuat pemain-pemain SMA ataupun alumni liga-liga pelajar. Siapa yang menyangka Jatim benar-benar memberikan perlawanan. Justru dari tim ini lah saya melihat bagaimana memang seharusnya sebuah tim bermain. Bagaimana Mega Nanda bermain penuh semangat, bagaimana Sumiati terlihat sangat ingin menang, bagaimana Laili berlari mengejar kemanapun bola itu berada, dan bagaimana mereka benar-benar bermain sebagai sebuah tim, penuh kekompakan, penuh keceriaan. Padahal hampir semua tahu, mereka mungkin baru berkumpul beberapa minggu saja, dan itupun event Pra-PON wilayah C hanya berkisar seminggu lagi akan digelar.
Saya tahu, sebagai mantan pemain, memang paling enak adalah ketika diposisikan sebagai underdog. Saat semua orang meremehkan kita, saat itulah kita tertantang untuk membuktikan kemampuan kita. Saya pernah merasakannya ketika Libama, saat semifinal, tim kampus saya berhadapan dengan UPH. Dan saat itu, hampir semua meremehkan kami. Bahkan lolosnya kami ke semifinal pun dianggap sebagai suatu kebetulan. Pada akhirnya, kami dapat mengalahkan UPH, dengan kemenangan 1 point! Tapi saya pun pernah merasakan, bermain sebagai tim dengan posisi unggulan pun tidak seharusnya membuat kita bermain ala kadarnya. Kemenangan, yang tampak mustahil diraihpun, akan datang jika, sekali lagi, kita bermain dengan semangat dan hati.
Bayangan saya kembali ke NBL musim lalu yang sudah selesai. Saat semua orang mengatakan bosan melihat Satria Muda juara, saat itulah seharusnya mereka tahu, bahwa semua punggawa Satria Muda memang bermain basket dengan hati. Saya masih ingat sampai sekarang, saat Grand Final Satria Muda melawan CLS Knights, kebetulan saya berada di area ruang ganti sesaat sebelum pertandingan. Saat kedua tim akan masuk lapangan, saya melihat bagaimana Amin Prihantono, Faisal, Welly, berteriak-teriak. Saat saya menanyakan siapkah di final ini, jawaban mereka sungguh membuat saya takjub, “siap saja, hajar saja!” dan mereka menjawab dengan berteriak. Saya kemudian menanyakan hal yang sama kepada beberapa punggawa CLS Knights, dan saya hanya mendapatkan jawaban, “yang penting berusaha di lapangan”, jawaban datar, dengan senyuman, dan tanpa ada “kenaikan” nada dalam jawaban itu. Oh ya, saya sama sekali bukan penggemar Satria Muda. Saya justru penggemar CLS Knights, karena notabene saya berdomisili di Surabaya. Tapi mau tidak mau, harus diakui, memang seperti itulah sebuah tim jika ingin menjadi juara. Mau tidak mau, memang benar adanya Heart of Champion. Dan mau tidak mau, harus diakui, sampai saat ini, Satria Muda lah tim terbaik Indonesia yang bermain dengan hati (semoga kelak ada yang bisa mematahkan dominasi ini :D).
Pada akhirnya, memang timnas putri menang dengan skor cukup telak 70-44. Tapi saya sudah terlanjur kecewa, dan saya justru lebih mengapresiasi permainan Jatim. Saya yakin, Jatim akan mampu mengimbangi kekuatan unggulan utama DKI, juga Papua dan Jogjakarta, dalam Pra-PON nanti (tanpa bermaksud meremehkan daerah lain). Jika pun kelak jatim mampu lolos dalam Pra-PON ini, saya yakin, mereka akan mampu memberikan perlawanan kepada Jateng (unggulan utama PON) dan Jabar (kebetulan saya sempat melihat mereka bermain di Pra-PON wilayah B yang lalu).
Saya tegaskan, saya sama sekali tidak membela Jatim, bukan karena saya warga Jatim. Saya pun mencoba berpikiran positif, semoga permainan mereka yang seperti ini, karena kesulitan beradaptasi dengan cuaca surabaya yang memang panas, dan memang karena mereka tidak bermain dalam bentuk terbaiknya.
Saya tidak pula bermaksud menjatuhkan timnas, menjelekkan timnas, ataupun antipati terhadap timnas. Apalagi saya pun bukan seorang pelatih, bukan seorang profesional dalam basket, dan saya tahu, saya hanya memiliki secuil pengalaman dalam menilai basket, dan itupun saya yakin, saya pasti lebih banyak salahnya. Saat ini saya hanyalah seorang penikmat basket, dan sungguh benar-benar berharap basket Indonesia semakin semarak. Tidak hanya basket putra, tapi juga basket putri. Siapapun pemain yang terpilih dalam timnas putri ini, saya sangat mendukungnya.
Saya merasa percuma saja jajaran manajemen dan pelatih melakukan bongkar pasang pemain, memanggil pemain ini, mengganti pemain itu, jika mereka yang terpanggil hanya bermain seperti itu. Saya hanya tidak ingin melihat mereka bermain egois, bermain sendiri-sendiri, bermain untuk meraih poin sebanyak-banyaknya, bermain agar dilihat oleh pelatih, bermain agar terpilih masuk 12 besar. Saya dan mungkin penikmat basket lainnya, hanya ingin melihat mereka bermain dengan hati, bermain dengan semangat tinggi, bermain dengan keyakinan untuk menang. Saya tidak ingin melihat timnas putri yang begitu digembar-gemborkan –dengan pelatih asingnya- bermain seperti ini, kemudian di SEA Games nanti justru hanya menjadi bulan-bulanan lawan. Tidak, saya sama sekali tidak ingin seperti itu. Saya sungguh ingin melihat Wulan, Jojo, Ranie, Sinta, dan semua personel timnas lainnya bermain seperti ketika mereka bermain di klub atau kampus masing-masing. Dengan hati.
Sedikit menyambung ke timnas putra –seperti yang sudah dibahas di artikelnya mas Udjo, saya juga ingin melihat mereka semua bermain dengan semangat. Entahlah, seperti Xaverius mungkin, yang selalu terlihat sangat-sangat ingin menang? Guys, play with heart, please!!
* tulisan ini saya buat tidak untuk menjatuhkan siapapun, tidak pula untuk menyalahkan siapapun. Saya yakin, saat ini semakin banyak kalangan yang peduli dengan basket Indonesia. Sekali lagi, saya hanya seorang penikmat basket, yang berharap basket di Indonesia semakin jaya. Amien!