Bela Sekolah atau Indonesia? Mari Pahami Konteksnya (Dilema U-16, DBL Camp 2011, 24-28 Juli 2011)

Salah satu komentar di dalam bolg ini mengelitik gw untuk menyinggung mengenai kasus pemain pelajar yang lebih memilih bermain di DBL daripada ikut bergabung di skuad Indonesia dalam kejuaraan SEABA U-16 di Malaysia. Saat itu, gw lalu bertanya kiri-kanan, “memangnya ada kasus apa?”

Semua terjawab setelah gw membaca artikel mas Eko Widodo di Bola Edisi 2.224, 18-20 Juli 2011, “Persiapan SEABA U-16, Mayoritas Cinta Timnas”

Tulisan ini adalah pendapat pribadi gw yang berusaha atau sekadar menunjukan perspektif alternatif dalam kasus tersebut. Bukan mendebat. Sekali lagi, sebuah perspektif yang berbeda saja :D

Bela Sekolah atau Bela Indonesia? Mari Pahami Konteksnya :D

Jika saya adalah seorang pebasket yang diminta memilih untuk berlaga mewakili sekolah atau mewakili negara, Indonesia, tentu saja saya akan memilih mewakili negara. Sebagai seorang warga negara yang ingin dan wajib berbakti, berjuang mewakili Indonesia adalah pengabdian yang tak ternilai. Apalagi usia saya masih sangat muda. Lagian, itu pilihan yang terlalu sederhana. Semua orang pasti pilih bela negara lah daripada bela sekolah. Kita semua berpikir jernih kan? :)

Kenyataannya, ada pemain pelajar yang diminta untuk membela Indonesia untuk Kejuaraan SEABA U-16, 9-13 Agustus, memilih untuk membela sekolahnya di ajang DBL daripada negara. Nah loh? :D

Kok bisa? Kok mau?

Liga pelajar DBL memiliki sebuah aturan yang telah mereka terapkan dari tahun 2004 yang kurang lebih menyatakan bahwa jika seorang pemain telah bermain untuk NBL, Kobatama, Kobanita, dan Tim Nasional Indonesia maka ia tak lagi boleh bermain di DBL. DBL menganggapnya telah bermain pada tingkatan yang lebih tinggi melebihi teman-temannya yang lain.

Nah, tampaknya, ada pemain yang dipanggil untuk membela Indonesia di ajang Kejuaraan SEABA U-16, 9-13 Agustus di Selangor, Malaysia juga terpilih sebagai pemain pilihan pertama yang mewakili sekolah dan daerahnya untuk mengikuti DBL Indonesia Development Camp 2011 yang diadakan di Surabaya, 24-28 Juli lalu.

DBL Indonesia Development Camp adalah sebuah kemah pelatihan yang juga akan menyeleksi para pemain dari daerah-daerah di seluruh Indonesia untuk mencari 12 pemain DBL All Star yang akan dikirim ke Amerika Serikat untuk berlatih dan bertanding di sana. Membawa nama Indonesia juga tentunya, walau barangkali nggak resmi :P Yang melatih kali ini kebetulan adalah Nate Robinson (Oklahoma City Thunder) dan beberapa pelatih besar dari Australia. (DBL Camp yang pertama dilatih oleh Kevin Martin -saat itu Sacramento Kings- serta beberapa pelatih NBA yang salah satunya adalah seorang asisten pelatih tim yang sudah punya dua cincin juara NBA).

Balik lagi, oleh karena aturan tersebut, seorang pemain pelajar yang terpilih mengikuti DBL Development Camp dan juga terpanggil untuk membela Tim Nasional mau tidak mau harus memilih salah satu. Ia tidak bisa mengikuti development camp dulu lalu pergi membela Tim Nasional setelah itu. Dan lagi, Pelatihan Nasional U-16 dilaksanakan pada tanggal 25 Juli. Bentrok.

Tapi masalahnya bukan itu. Jika saja waktunya tidak bentrok, apakah yang terpilih masuk Tim Nasional tetap tidak boleh lagi bermain di DBL? Yup, tampaknya demikian. Aturan ini sudah ada dan sudah ditegakan sejak tahun 2004. Dan barangkali tidak akan berubah.

DBL Jahat?

Apakah teman kita yang lebih memilih untuk bermain membawa nama sekolahnya dan menolak panggilan Tim Nasional itu tidak patriotik? Tidak berpikir jernih?

Hmm.. Ada dua pertanyaan yang berkecamuk di kepala kita. -Setidaknya gw :P

Tenang, mari coba lihat dengan kaca mata baru pelan-pelan :D

Dalam kaca mata hitam-putih, jelas keputusan untuk lebih memilih sekolah daripada negara adalah keputusan yang memalukan. Tidak patriotik. Tetapi bagi gw, kita tak bisa memandang dunia sebagai hitam putih (maybe that’s why I don’t watch Corbuzier show but that episode with Nate as the guest). Kita butuh abu-abu sebagai pertimbangan. Dan semua orang juga harus melihat sisi putih maupun sisi hitam dan menjadi abu-abu terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk memilih hitam atau putih. Sekali lagi, pastikan kita paham hitam-putihnya dulu.

Tetapi tetap saja laah, kepentingan negara itu nomor satu! Betul. Tetapi negara juga harus mengakomodasi sudut pandang warga yang akan membelanya. Negara harus adil meskipun susah. Negara harus memastikan bahwa tuntutan kepada warganya tidak sebaliknya malah merusak atau menghancurkan diri warga yang akan membelanya itu.

Maksudnya?

Mari ambil contoh ekstrim. Semisal negara akan membuat jalan raya yang ternyata harus menggusur beberapa rumah. Jalan raya adalah kepentingan negara. Rumah adalah kepentingan pribadi. Haruskah kepentingan pribadi dikorbankan untuk kepentingan negara? Jika memakai logika hitam-putih, jelas harus berkorban! Namun jika mau masuk ke zona abu-abu, negara harus adil dengan mengajak pemilik rumah untuk berunding dulu guna mendapatkan solusi terbaik. Misalnya sebuah kompensasi ganti rugi yang layak dan adil. Jika negara memaksakan kehendak, itu namanya lalim. Semena-mena! Emang ada negara yang seperti itu? Banyaakkk.. Negara kita salah satunya :D

Kembali lagi ke cerita beberapa anak yang lebih memilih untuk membela sekolah di DBL daripada Indonesia. *Gila, bahkan gw sendiri masih bingung kenapa ada anak yang mau melakukan ini. Tapi bagaimanapun gw (dan semoga kita semua) kudu bisa sedikit obyektif.

Jika ada anak-anak yang lebih memilih membela sekolahnya di DBL daripada membela Indonesia, sebagai masyarakat (yang juga bagian dari negara) harus bertanya terlebih dahulu, “mengapa anak tersebut lebih memilih membela sekolah daripada Indonesia?”

“Gw masih belum paham dengan analogi di atas, coba jelaskan lagi..”

Pada tahun 2004, Tracy McGrady, Shaquille O’Neal, Kobe Bryant, Karl Malone, Kevin Garnett, Ray Allen, Jason Kidd, Mike Bibby, Jermaine O’Neal, Vince Carter, Elton Brand, Kenyon Martin, dan Ben Wallace sempat menolak membela negaranya di ajang Olimpiade Athena karena alasan keamanan.

Alasan keamanan? Yup! Waktu itu para pemain NBA itu takut menjadi sasaran terorisme. Ok, Ray Allen gak termasuk, karena alasannya tidak mau bergabung dengan Tim Nasional USA saat itu adalah karena istrinya akan melahirkan. Tapi namanya menolak yaa menolak :P

Tunggu, jadi para pemain NBA juga pernah menolak untuk bergabung dengan tim nasionalnya?

Yup! Dan mereka saat itu menjadi sasaran cemooh warga Amerika. Salah satu cemooh yang paling pedas dan perih adalah “Gila yaa, kalian enggan dan takut pergi bermain basket di Athena, Yunani, negara yang aman sentosa. Padahal kalian mendapat pengamanan ekstra ketat dari angkatan bersenjata Amerika dan lokal. Bandingkan dengan saudara-saudara kita yang lain yang benar-benar berperang di Iraq dan Afganistan! Dasar pengecut!”

Meskipun akhirnya berangkat ke Athena, setidaknya kita tahu bahwa pernah ada peristiwa penolakan menjadi pemain nasional karena alasan tertentu, dan itu terjadi di salah satu level kompetisi tertinggi bola basket, olimpiade!

**Tim USA ini adalah tim USA terburuk sepanjang masa. Kalah dari Puerto Rico dengan selisih 19 poin (terburuk sepanjang sejarah saat pemain NBA mewakili Amerika), dan pulang dengan membawa perunggu. Emas milik Argentina!

Hmm itu di Amerika yaa..

Kasus serupa pernah terjadi di Indonesia. Dalam analogi yang mirip dengan penggusuran rumah karena jalan raya di atas. Bedanya, ini terjadi di sepak bola :)

Boaz Solossa, salah satu striker terbaik Indonesia yang kini kembali mengenakan jersey Merah-Putih, pula pernah menuai kritik sebagai pemain yang tidak patriotik karena “enggan” bermain untuk Tim Nasional dengan cara mangkir latihan, sebelum kemudian dicoret dari Timnas.

Tahun lalu, Boaz akhirnya dicoret oleh Alfred Riedl dari skuad Tim Nasional AFF Cup karena tak juga kunjung datang berlatih bersama skuad Tim Nasional lainnya. Padahal, Boaz sudah diberikan kelonggaran waktu hingga lima hari. Alasan Boaz kala itu adalah ia harus menjaga dan merawat anak serta istrinya yang sedang sakit.

Itu alasan Boaz. Namun opini yang berkembang adalah Boaz enggan bermain dengan Tim Nasional Indonesia karena Tim Nasional dulu pernah menelantarkannya dan berujung pada terancamnya karir jangka panjangnya.

Apa yang terjadi pada Boaz dahulu?

Selama bermain membela Merah-Putih, Boaz mengalami dua kali cidera parah. Pertama kali ketika Indonesia menghadapi Singapura di leg pertama final AFF Cup tahun 2004. Ketika itu, pemain Singapura, Baihakki Khaizan melanggar Boaz dengan keras. Boaz yang cidera tak mampu tampil di leg kedua final AFF Cup 2004. Indonesia pun kalah.

Tahun 2007, ketika Indonesia menghadapi Hong Kong dalam persiapan menghadapi Piala Asia, Boaz cidera patah kaki. Cidera kedua inilah yang rumornya-tampaknya membuat Boaz kecewa kepada Tim Nasional. PSSI menolak membiayai pengobatan dan perawatannya. Beruntung, klubnya, Persipura bersedia menanggung semua biaya perawatan dan pengobatan Boaz. Boaz merasa ditelantarkan.

Nah..

Jika kita merasa Boaz tidak patriotis dengan “menolak” bergabung dengan Tim Nasional, mungkin kita akan berpikir dua kali untuk berkata demikian jika tahu apa yang terjadi pada Boaz. Ada sisi ketidak-adilannya :(

Kembali lagi ke pertanyaan di atas tadi..

Apakah teman kita yang lebih memilih untuk bermain membawa nama sekolahnya dan menolak panggilan Tim Nasional itu tidak patriotik? Tidak berpikir jernih?

Gw akhirnya bertemu dengan pemain U-16 yang dipanggil untuk mewakili Indonesia tersebut. Ia berlatih keras mengikuti DBL Indonesia Development Camp agar terpilih menjadi salah satu wakil DBL untuk ke Amerika Serikat. Gw menanyakan perihal penolakannya mengikuti Tim Nasional U-16.

“Kenapa lu gak mau ikut Timnas boy?” -semua anak gw panggil ‘boy’- tanya gw.

“Saya mau ikut DBL saja. Ini pilihan saya. Saya sekolah dengan biaya bea siswa. Jika saya mengikuti Timnas, maka otomatis saya gak boleh lagi ikut DBL, yang artinya bea siswa saya dicabut,” ia menjelaskan. Pemain tersebut juga kurang mengerti mengapa ia bisa terpilih masuk Timnas U-16 (dalam hati sih gw mikir, “yaa karena kamu basketnya jago boy” :P)

DBL Jahat?

Lah? Kalau begitu, solusinya seharusnya mudah saja bukan? Izinkan ia bermain untuk Timnas dan juga tetap bermain di DBL. Selesai! Beres! Susah amat!

Nah, di sinilah gw rasa banyak sekali yang belum paham tentang DBL dan beberapa hal penting yang terkait dengannya.

Pertama, liga pelajar DBL adalah sebuah event atau kegiatan olah raga yang mengutamakan partisipasi. DBL berusaha melebarkan sayap dari yang hanya dimulai dari Surabaya, kini berkembang ke puluhan kota dan berencana akan terus mengembangkan diri. Kasarnya, penyelenggara ingin agar olah raga bola basket dimainkan oleh sebanyak-banyaknya anak Indonesia. Dalam kata lain, partisipasi!

Benar, pasrtisipasi. Liga DBL kini sudah diikuti oleh lebih dari 25.000 pelajar dari seluruh Indonesia yang benar-benar mendapatkan kesempatan beradu basket. Mulai yang jago-jago, hingga yang baru belajar dribble bola! DBL tidak mengutamakan kegiatan ini sebagai ajang prestasi, walau tentu saja juaranya adalah pebasket-pelajar yang berprestasi.

Dalam kasus pemain DBL yang tidak memilih untuk bermain di Timnas U-16, dalam kaca mata kegiatan olah raga yang mengutamakan partisipasi, jika ia bermain di Timnas U-16 dan juga bermain di DBL Camp, maka ia akan menutup kesempatan anak lainnya untuk menutupi satu tempat di DBL Camp.

“Gak apa-apalah, kan demi prestasi Indonesia..”

Yes, demi prestasi Indonesia, tetapi dengan demikian, menurut aturan DBL maka ia otomatis menutup kesempatan rekannya yang lain yang kemungkinan juga sangat berbakat dalam bermain basket. Tentunya dengan tidak melupakan bahwa jika ia meninggalkan DBL, maka beasiswanya akan dicabut.

“Bagaimana jika aturan tersebut dirubah?”

Tentu saja tidak semudah itu. DBL telah konsisten menegakkan aturan ini sejak pertama kali berdiri di tahun 2004 dan dipatuhi oleh beberapa pemain yang pernah melewati kasus yang sama.

Jika DBL telah menegakkan aturan ini dari tahun 2004, berbeda halnya dengan kejuaraan SEABA U-16 yang baru pertama kali akan dilaksanakan tahun ini. Ujug-ujug mau merubah aturan akan menjadi preseden buruk bagi pembelajaran dalam mematuhi aturan-aturan (bukan hanya di basket).

Jika sedikit-sedikit ada kasus yang tidak sesuai aturan, lalu yang harus mengalah adalah aturannya yang harus dirubah agar “semua senang”, maka kita gak akan pernah belajar menegakan aturan, baca: hukum!

Dalam tulisan di Bola itu, mas Eko Widodo mengatakan, “Jika ternyata ada peraturan sebuah liga yang direkomendasi (Perbasi) berpeluang merugikan pembinaan pebasket, ada baiknya dikaji lagi.”

Hemat gw, jika memang DBL dari dulu direkomendasi Perbasi (dan memang direkomendasi Perbasi), maka artinya Perbasi pun sebenarnya dari dulu sudah setuju dengan semua aturan-aturan DBL.

Diancam skors oleh Perbasi

Dari sebuah sumber yang sangat bisa gw percaya (bukan dari pihak DBL), pemain yang menolak mengikuti Timnas U-16 ini terancam mendapatkan skors dari Perbasi berupa tidak boleh mengikuti kompetisi-kompetisi Perbasi dalam beberapa tahun :(

Jika pemain yang menolak bermain untuk Timnas U-16 itu baru diancam akan diskors oleh Perbasi, gw gak kaget. Karena salah satu peserta DBL Camp 2011 yang lain justru sudah ada yang diskors Perbasi karena ogah mewakili daerahnya di Pra-PON. Pemain tersebut lebih memilih ikut DBL Camp.

Beberapa tahun lalu, salah seorang pemain pelajar putri dari Jawa Tengah juga mengalami hal serupa. Ia memilih ikut kompetisi DBL, dan menerima skorsing dari Perbasi kotanya untuk tidak main dalam kompetisi Perbasi dalam jangka waktu sekian tahun. Dalam hati gw berpikir “cool! masih muda sudah pernah di-bann! That is rebellious! Sebuah keberanian mempertahankan kehendak apapun risikonya!”

Penutup

Panjang juga yak tulisan yang ini :P

Benak gw berkecamuk, “lah, pasti ada yang ‘salah’ jika anak-anak ini justru lebih memilih main di DBL daripada kompetisi-kompetisi Perbasi atau mewakili Timnas.”

Liga DBL pasti punya magnet tersendiri yang membuat mereka berani memilih DBL dan menerima resiko diskors bahkan dicemooh di media massa.

Secara pribadi, gw miris membaca keterangan foto pada tulisan Persiapan SEABA U-16, Mayoritas Cinta Timnas di tabloid Bola tersebut tertulis “Para pebasket timnas muda usia ini masih berpikir jernih dengan membela Tim Merah-Putih.”

Bagi gw, anak yang tidak memilih untuk bermain untuk U-16 berhak menentukan pilihan dengan pikiran jernihnya sendiri. Bagi gw, baik yang ikut Timnas U-16 ataupun yang memilih ikut DBL, dua-duanya berpikiran jernih. Hanya saja perspektifnya berbeda. Dan kita perlu mengembangkan orang-orang Indonesia yang memiliki multi perspektif dalam melihat suatu permasalahan.

Bagi gw, DBL telah membuat bola basket sebagai sebuah olah raga dan kompetisi yang dinanti-nanti dengan antusias di seluruh Indonesia. Tujuannya adalah partisipasi anak Indonesia seeeebanyak-banyaknya. Dari yang hanya tujuannya partisipasi, melalui DBL muncul anak-anak Indonesia yang berprestasi dalam hal basket. Ini buah yang tidak disengaja.

“Jangan tujuan mulia pembinaan itu malah berubah menjadi pembinasaan.” Kalimat tersebut menutup artikel di tabloid Bola tersebut. Gw langsung melamun. DBL melakukan pembinaan yang sangat-sangat luar biasa yang merata hampir di seluruh Indonesia. 25.000 lebih anak bermain basket di DBL. Beberapa di antaranya muncul sebagai pemain yang jago. Jika hanya gara-gara gak ikut Timnas U-16 atau Pra-PON atau apapun ia malah diskors, gw kembali bertanya-tanya, ini siapa yang sebenarnya membina? Dan yang siapa membinasakan?

Masalah membela Tim Nasional, pemain-pemain muda yang masih SMA ini masih sangat muda. Gw masih berharap mereka nanti akan bermain bersama, kembali membela Merah-Putih, kelak dalam ajang yang bergengsi seperti FIBA Asia, SEA Games, atau SEABA. Mereka bermain kompak sebagai pemain matang dalam tim yang solid! Amiin :)

Tambahan 30 Juli: Beberapa menit setelah tulisan ini gw posting, mas Agus Mauro, Sekjen Perbasi melalui sms memberi jaminan bahwa pemain yang menolak bergabung dengan Tim Nasional U-16 tidak akan diskors, seperti ancaman yang gw tulis di atas. Ini melegakan :D

“Kami dari Perbasi selalu berkomunikasi dengan pihak DBL mengenai permasalahan ini, Insya Allah semuanya yang terbaik untuk kemajuan Bolabasket Indonesia. Mohon dukungannya, terima kasih.” Agus Mauro, Sekjen Perbasi.

14 pemikiran pada “Bela Sekolah atau Indonesia? Mari Pahami Konteksnya (Dilema U-16, DBL Camp 2011, 24-28 Juli 2011)

  1. maju terus basket indonesia….tetep tegakkan aturan,tetep konsisten dan berkesinambungan dalam pembinaan,jangan matikan harapan dan mimpi anak muda….

  2. bang idan mau tanya nih,,nasib dua pemain dbl camp yang juga masuk timnas u-16 (satu dari banten, satu dari Jabar) bagaimana? kalau nggak salah yang dari jabar malah kepilih masuk all-star.apa dia harus memilih antara timnas u-16 dan dbl all-star?
    oh ya,sekedar info pemain timnas u-16 ada yang alumnus dbl junior. namanya vincent rivaldi kosasih,julukannya “yao ming Surabaya”..mungkin itu juga salah satu sumbangsih dbl untuk timnas. tapi jujur sebagai penggemar basket di indonesia saya berharap agar pemain timnas juga bisa bermain di DBL..:-)

    1. Juan Laurent dan Ferdian Dwi Purwoko tetap bergabung ke Timnas U-16 untuk SEABA. Harusnya hari ini sudah sampai di Semarang, dan bergabung bersama teman-temannya ;)

  3. Beberapa menit setelah tulisan ini gw posting, mas Agus Mauro, Sekjen Perbasi melalui sms memberi jaminan bahwa pemain yang menolak bergabung dengan Tim Nasional U-16 tidak akan diskors, seperti ancaman yang gw tulis di atas. Ini melegakan :D

  4. Gue kok risih ya dengernya… anak usia dibawah 16 thn sdh di kasih problem seperti ini… Apakah sudah dihitung dgn cermat kerugian pihak DBL apabila tdk konsisten dgn peraturan yg dibuat sendiri dengan kesempatan anak2 U16 membela NKRI? Bung Idan, apakah anda sudah kros cek antara DBL dan PB.Perbasi mengenai peraturan DBL yg katanya sejak 2004? Apakah betul2 anda yakin kalo PB.Perbasi paham peraturan DBL? Apakah pihak PB.Perbasi sdh menyatakan secara resmi bahwa mereka paham peraturan DBL?

    Sebaiknya bung Idan juga cek ke PB.Perbasi apa saja yg sdh dicoba oleh PB.Perbasi utk masalah ini? Jangan hanya dr pihak DBL nya saja… bisa bahaya efeknya bung…

    Gue sama sekali tidak anti dgn DBL… Gue juga termasuk orang yg menikmati kehadiran DBL dengan produk2nya… Tapi utk urusan bela negara, janganlah anak U16 yg masih AMATIR ini disamakan dengan pemain NBA yg PROFESIONAL yg menolak bela negara. Mau dibikin mental seperti apa adik2 kita ini?

    Kalo kemarin kita kritik PB.Perbasi krn tidak punya program yang berjenjang… Nah sekarang giliran ada pembentukan TimNAs U16 malah ada problem seperti ini?

    Mungkin ini juga harus menjadi perhatian PB.Perbasi utk mengadakan kejuaraan yg berkwalitas…. Agar murid2 yg ber bea siswa masih bisa main di event2 yg lain selain DBL…

    Maju terus Basket INDONESIA !!!

    1. Yes, gw cek silang dengan pihak terkait, dan tidak hanya dari DBL saja. Masalah siapa sajakah yang memberi cerita ke gw, biarlah gw sendiri yang menyimpannya :)

      Efeknya bisa bahaya? Kalau bahayanya membawa kebaikan di masa mendatang, malah bagus bukan? Gw membaca istilah “bahaya” sebagai risiko.

      Banyak cerita tentang hal-hal yang terkait Perbasi dari orang-orang yang terlibat langsung dan mengalami langsung. Gak mungkin mengeluarkannya sekalian. Gw rasa kamu pun tahu :D

      “Tapi utk urusan bela negara, janganlah anak U16 yg masih AMATIR ini disamakan dengan pemain NBA yg PROFESIONAL yg menolak bela negara. Mau dibikin mental seperti apa adik2 kita ini?” maaf gw gak sependapat. Si anaknya justru sangat sadar aturan :)

  5. Pertanyaan gua sama @cukon.. Buat apa kalau udah bikin kompetisi berjenjang lalu ada pemainnya yang bagus trus kepanggil ama timnas lalu mereka ga boleh lagi membela sekolahnya?
    Mereka ini asset negara, sudah seharusnya dilindungi.. Bukan dibatasi haknya seperti ini.. Lalu setelah mereka selesai timnas mau kompetisi dimana? Antar klub doang? Yakin ada tiap taun? Atau nunggu sampe mereka lulus SMA? Come on, they’re 16 years old for God sake… Masih ada 1-2 taun lagi sebelum mereka bisa main di libama ataupun kompetisi di atas SMA dan kalaupun mau main di NBL juga masih butuh jam terbang yang banyak juga bukan??

    Jadi dalam hal ini, gua sangat memohon kepada pihak DBL, berpikirlah kembali mengenai peraturan ini, karena akan sangat merugikan buat pemain2 itu apabila ga bisa ikut DBL lagi.. Kasihan mereka hanya bisa menyaksikan teamnya bertanding. Memang masih bnyk bakat di luar sana yang akan menggantikan 12 orang ini tapi cobala berpikir untuk kategori U-16 menurut saya peraturan ini sebaiknya dihilangkan. Mungkin bisa diberlakukan apabila sudah memperkuat timnas minimal pada level U-18 maka tidak diperbolehkan bermain di DBL.
    Saya rasa hal ini adalah jalan tengah yang paling masuk akal. Karena percayalah Pak Azrul, bahwa bermain di DBL adalah sebuah pengalaman berharga yang akan menjadi cerita maupun memori di kemudian hari untuk pemain basket SMA. DBL sudah menjadi sebuah lifestyle bagi anak SMA, bahkan untuk pihak sekolahnya juga.

    Semoga Pak Azrul dan team DBL dapat menentukan keputusan sebijaksana mungkin mengenai kasus ini, dan juga perbasi. Terima kasih.

  6. saya juga sangat setuju dengan mas prabaswara..kita tentu berharap aturan tersebut bisa diganti dengan kategori level u-18,,sebab kompetisi muaranya adalah pada pembentukan timnas yang tangguh..mungkin DBL boleh menilai kalau mereka mencari student atlet,tapi kalau studen atlet tersebut bisa menjadi seorang atlet,tentu itu bisa menjadi sebuah bonus bagi DBL…

    Sekali lagi saya berharap agar pihak perbasi dan DBL bisa bertemu dan membicarakan regulasi tersebut. Tidak etis juga kalau kita mematikan semangat para pelajar yang ingin mengukir prestasi untuk sekolahnya. Saya adalah penonton setia DBL, dan pendukung utama timnas..semoga bisa ada win-win solution..

  7. Kami dari Perbasi selalu berkomunikasi dengan pihak DBL mengenai permasalahan ini, Insya Allah semuanya yang terbaik untuk kemajuan Bolabasket Indonesia

    Mohon dukungannya, terima kasih

  8. Nice! Ini info bener2 baru buat saya. Udah lamaaaa banget gak denger tentang DBL, ternyata di harian KOMPAS dan harian lain di Bandung gak terdengar gaungnya… :( Entah apakah karena harian2 tersebut gak mau meliput atau apa, tapi saya tahu DBL adalah event basket yang mulai membesar.
    Saya orang Surabaya (sampe SMA) yang kuliah di Bandung, dan saya tahu betapa besarnya DBL. Di koran2 Surabaya DBL terliput, terutama Jawa Pos. :D Tapi di Bandung sini, tak terdengar sama sekali… :|
    Hingga akhirnya saya melihat Nate Robinson di acara Hitam Putih di Trans7. :lol: Nate memakai kaos DBL. Saya langsung teringat lagi ama DBL. :lol:

    DBL ini, sama nggak sih ama turnamen nasional SMA yang ada di komik2 basket jepang? :)

  9. sy setuju dg mas prabhaswara, dan menurut saya dg punya kesempatan main di berbagai kompetisi akan menggali dan semakin memperkaya kemampuan anak bangsa. Apalagi untuk anak2 usia sekolah (16 tahun) masih sangat muda dan masih sangat perlu pengalaman, kita kan pengen Basket Indonesia MAJU,…… ayoooo dukunglah… para pemain kita…. untuk membawa harum BANGSA INDONESIA.
    Sy harap mas Azrul dan PB PERBASI bisa sama2 memajukan BASKET INDONESIA dengan memperhatikan PEMBINAAN dan KEMAJUAN PEMAIN MUDA dengan memberikan kesempatan seluas2nya bagi mereka untuk MAJU…. dan BERPRESTASI……. thanks…

  10. wosssss panjang banget tulisannya bang, tapi gw enjoy bacanya
    jadi yg tidak ikut timnas tidak akan discors ya..
    yang dari semarang tetap semangat..

    oya, kalo soal boaz aku malah #barutahu

Tinggalkan Balasan ke mainbasket Batalkan balasan