Hiphopdiningrat, Tak Perlu Ngerti Bahasa Jawa Tuk Ikut Bergoyang dan Tergugah!

Tidak ada yang istimewa dengan hiphop atau rap berbahasa Jawa. Telah muncul sebelumnya dan terus bermunculan hiphop berbahasa Prancis, Mandarin, Sunda, Indonesia, Jepang dan lain-lain. Meskipun bahasa ibu dari hiphop adalah bahasa Inggris, keturunannya tak haruslah serupa. Konsekuensi dunia yang semakin kecil, lebih kecil daripada daun kelor. Tak ada lagi ada batas.

Hiphop berbahasa Jawa yang pernah lahir, lalu sepi sejenak, bangkit lagi dengan tak hanya menggunakan bahasa Jawa sebagai penyampai pesan. Liriknya menjadi lebih populer, lebih merakyat, didengarkan oleh anak-anak SD hingga mbok-mbok pasar, bahkan mengambil karya-karya sastra kuno Jawa untuk dijadikan lirik, memadukan rappers dengan sinden, dan akhirnya “naik haji” dengan manggung di New York. Hal-hal tersebut menjadikan hiphop berbahasa Jawa lebih dari luar biasa. Perjalanan Marzuki Mohammad (Juki) a.k.a. Kill The DJ (@killthedj) bersama Jogja Hiphop Foundation yang ia dirikan dari tahun 2003 hingga pertengahan 2010 (masa pendokumentasian) menjadi inti cerita film dokumenter “Hiphopdiningrat”.

Jogja Hiphop Foundation

Jogja Hip Hop Foundation (JHF) didirikan tahun 2003 oleh Juki, yang katanya bertujuan membantu aktivitas dan mempromosikan rap berbahasa Jawa.

Diawali dengan berbagai acara kecil seperti It’s Hip Hop Reunion dan Angkringan Hip Hop, pada tahun 2006-2009 JHF memulai proyek Poetry Battle; eksplorasi karya puisi Indonesia dari puisi-puisi tradisional hingga kontemporer dengan media hip hop.

Dari proyek itu JHF menghasilkan dua buah album kompilasi Poetry Battle 1 & 2, dan mulai berhasil membentuk identitas dan sikap berkarya.

Menggunakan bahasa Jawa sebagai lirik rap, tampaknya sedikit sulit mendapatkan tempat pada industri musik Indonesia. Tetapi hal ini justru mampu diatasi JHF dengan caranya sendiri. Saat ini lagu-lagu JHF sudah menjadi “lagu rakyat” di Yogyakarta, terutama setelah diluncurkannya lagu Jogja Istimewa yang sudah menjadi soundtrack kehidupan rakyat Yogyakarta. Lagu itu dinyanyikan kolektif oleh Ki Jarot, akronim dari Kill the DJ, Jahanam, Rotra, ketiganya adalah crew yang paling konsisten memproduksi lagu-lagu hip hop berbahasa dan bernuansa Jawa dan mempresentasikan eksistensi dari JHF.

Hiphopdiningrat

Gw sangat gak banyak tahu tentang musik hiphop atau rap. Namun film dokumenter Hiphopdiningrat menggambarkan sesuatu yang lebih luas daripada sebuah perkembangan sub-kultur hiphop Jawa dari kecil hingga “naik haji” ke New York. *Istilah “naik haji” gw kutip dari pertanyaan Tarlen seusai pemutaran film. Hiphopdiningrat menggambarkan sebuah usaha keras tanpa henti mengatasi semua keterbatasan dan terus berjalan entah sampai kapan harus berhenti.

Film ini diawali oleh sebuah komentar singkat pendek dari seorang jurnalis wanita asing yang menceritakan sejarah singkat lahirnya hiphop di dunia dan lalu narasi sesungguhnya dibawakan oleh Juki sendiri dari balik stir mobil sambil mengelilingi kota Yogyakarta. Melengkapi ceritanya, Juki menampilkan potongan-potongan gambar dan video segala perhelatan yang dilakoninya bersama JHF.

Selain cerita dari Juki sendiri, Hiphopdiningrat juga menampilkan komentar-komentar para penggiat kebudayaan seperti Butet Kertaradjasa, Sindhunata, dan Jaduk Ferianto yang mengagumi betapa dahsyatnya rap berbahasa Jawa ini. Iwa K, pelopor hiphop Indonesia pun ikut berkomentar dengan mengatakan betapa ia sangat kagum dengan perkembangan hiphop di Yogyakarta dan berharap andai itu terjadi Jakarta.

Kisah yang tak kalah menarik dari Hiphopdiningrat adalah perjalanan para rappers yang tampil dan setia menggunakan bahasa Jawa untuk liriknya seperti Jahanam dan Rotra. Film ini memperlihatkan bagaimana rapper lokal tersebut tetap eksis ngerap sembari tetap melakukan kegiatan kesehariannya yang lain. Lucunya, Hiphopdiningrat juga menampilkan komentar dua orang ibu yang mengkhawatirkan masa depan anak-anaknya karena terlalu asik ngerap dan mengancam kuliahnya. “Hip hop gak jelas!” komentar seorang ibu yang seolah keinginan pribadinya untuk sang anak “dicuri” oleh hip hop. *Gw rasa sang ibu rasanya kini bangga melihat pencapaian anaknya dengan hip hop saat ini :)

Hiphopdiningrat tidak hanya menyampaikan perjalanan JHF dengan segala raihan dan prestasinya. Hiphopdiningrat mampu menggugah orang lain untuk terus konsisten pada panggilan jiwa, melewati semua hal yang harus dilewati dalam “perjalanan” tanpa peduli akan bagaimana hasilnya nanti.

Sayangnya, film yang disutradarai oleh Juki sendiri bersama rekannya Chandra Hutagaol ini belum diputar luas sehingga dapat ditonton oleh banyak orang. Gw sendiri tadi malam bukanlah salah seorang tamu yang diundang. Gw berhasil masuk nonton karena mencatut nama salah satu tamu yang diundang (Suave.. sorry guys :D). Tampaknya keinginan keras gw untuk nonton yang akhirnya “membawa” gw berhasil masuk di Blitz tadi malam :D Forgive me God :D Mirip-mirip gak yaa dengan kisah JHF yang akhirnya sampai ke New York? :D

*Alhamdulillah ngerti bahasa Inggris, Hiphopdiningrat disampaikan 80% menggunakan bahasa Jawa! :D

6 pemikiran pada “Hiphopdiningrat, Tak Perlu Ngerti Bahasa Jawa Tuk Ikut Bergoyang dan Tergugah!

  1. Gimana caranya bisa nonton/dapet/beli filmnya? Please tell me they’ll release it on a DVD or something..
    Aku beli albumnya Jahanam dulu 2003 waktu masih di Jogja, gara2 denger lagu Tumini, tp ternyata satu album bagus semua lagunya! Sekarang hilang entah dipinjam siapa dan tak kembali T_T

  2. Waah, aku pernah dengerin ini lagunya cm satu kali pas di rumah temen, tpi krn ga tau siapa yg nyanyi jadi bingung pas mau search di google. Ternyata ini to, Hiphopdiningrat.. oke oke.

  3. di Surabaya jg ada kelompok Hip Hop Rap namanya Excalibur, tp g tau kmn nih group, dulu wkt SMA nih group keren bgt, pak bahasa jawa Suroboyoan jg koq

  4. kebetulan saya juga sempet nonton film ini di jakarta, ketemu @pandji juga..dan pada saat itu saya lagi pake baju “MAIN BASKET YUK” dari REF *info ga penting* :D

    keren abis emang film ini, bikin ‘melek’, soalnya di tengah terpaan budaya global macam musik rap yang diusung juki dan kawan-kawan, mereka masih bisa menjaga kearifan lokalnya dengan berkarya menggunakan bahasa aslinya, dan tetap dikemas dengan ‘gaya’ modern!! salut lah sama mereka…

    inspiratif banget sih buat anak-anak muda yang selama ini cuma bisa memuja budaya ‘luar’ tanpa ngelirik budaya loka sama sekali :)

Tinggalkan Balasan ke Hay Batalkan balasan